Sudah sekian lama aku tak menulis ditempat ini. Boleh kubilang karena kesibukkan yang lebih sering menemaniku. Aku sudah duduk
di bangku kelas 12 SMA, dan itu hanya tinggal beberapa bulan lagi aku harus
menempuh try out, ujian praktik, ujian nasional, dan tentu aku masih berharap
banyak bisa menempuh ke jenjang pendidikan di perguruan tinggi favorit tentunya.
Hmm... mumpung ini aku lagi lowong gara-gara di sekolah sedang mengadakan class
meeting, jadi aku iseng mau ngepost sebuah cerita tentang Embun dan Matahari.
Dahulu embun dan matahari
pernah menjalin sebuah hubungan. Embun sangat menyayangi matahari. Termenung
dalam hening, embun sampai saat ini belum dapat melepas bayangan matahari.
Andai kamu tahu, sebenarnya kala itu hubungan antara Embun dan Matahari hanya
mainan belaka. Matahari tak pernah benar menyayangi Embun. Namun, seberapa ahli
actingnya sehingga tak ada satupun makhluk ciptaan Tuhan lain yang tahu tentang
itu. Sampai akhirnya, mereka berpisah. Setelah perpisahan itu, sebegitu
kejamnya teman Matahari berani mencaci Embun, “Kasihan ya yang cuman dijadiin
pelarian.” Hati sakit, namun Embun tahu benar bahwa dia menyayangi Matahari
dengan tulus.
Cobaan
begitu berat, ketika selang beberapa bulan lamanya akhirnya Matahari kembali
dekat dengan Embun. Dia kerap kali sms, menelepon, dan memberi kabar tentang
kisah hidupnya yang sekarang. “Tuhan, bagaimana bisa aku menghindari dari
kedekatan ini?” Embun selalu tak dapat menahan segala emosinya untuk tidak
membalas perhatian dari Matahari. Embun berandai-andai, “Apakah mungkin ini
jalan untuk kembali padanya? Tetapi bagaimana dengan perasaanku yang pernah
tersakiti olehnya? Apa aku harus sekejap memaafkan? Ternyata memang benar...
sakit rasanya... tetapi aku juga masih jatuh cinta terhadapnya. Tentang
pesonanya, parfumnya, tingkahnya, kebodohannya, senyumnya dan tawanya. Sungguh,
aku mencintainya.”
Baru
saja Embun menemukan secarik kertas. Kertas itu berisikan coret-coretan sebuah
larik diarynya. Disana tertulis nama Matahari dengan jelas bertinta hitam.
Embun membaca perlahan, teringat benar akan kenangan yang pernah ia lalui
dengan Matahari. Selama ini, ia berusaha untuk melupakan Matahari, namun dalam
sekejap air matanya menetes. Seakan hatinya patah kembali, dia menyadari telah sekian
tahun ini dia mencoba mencari yang lain namun layaknya iklan mie, kalau rasa tidak pernah bohong. Diatas
kertas bergaris hijau itu tertulis:
“Percakapan
ku dengan Matahari ketika ia meneleponku kala tengah malam. Mataku masih sayu,
langsunglah tanpa sadar aku menerima panggilan tersebut..."
Embun: “Halo??!”
Matahari: “Halo, kamu udah tidur ya?”
Embun: “Ini siapa?”
Matahari: “Aku Matahari. Kamu enggak kenal sama
suaraku?”
Embun: (Dirinya sangat kaget, dan langsung tersadar
dari rasa kantuknya)“Oh hmm... ka... ka... mu... ke... kenapa telepon aku?”
Matahari: “Oh jadi ceritanya enggak boleh? Aku tutup
lho.”
Embun: “Bu... bu... bukan maksudku gitu, tapi aku
enggak nyangka aja.” (Dasar bodoh, kenapa aku jadi berkesan agak senang gini
jawabnya, hihi tapi nyatanya emang senang sih hiks)
Entah mengalir kemana percakapan kala tengah malam
itu. Sampai akhirnya Matahari mengintrogasi pertanyaan yang sebenarnya
sangatlah privasi. Lagi dan lagi tentu Embun tidak dapat mengelak. “Bodoh!
Percakapan macam apa ini? Masa dia nanya-nanya:
M: “Kamu udah
bisa lupain dia (mantan gebetan Embun) belum?”
E: (Kasih tau engga yaaaa.....)
M: Kalau
semisal aku (Matahari) sama dia (mantan gebetan Embun) bakalan nembak kamu
secara bersamaan, jadi kamu bakal lebih milih siapa?
E: (Milih siapa aja boleh yang penting enggak
nyakitin.)
M: “Kamu udah
bisa lupain aku belum sih sebenernya?”
E: (Apadeh lo mau tau banget tentang perasaan gue.
Trus abis itu lo mau nyakitin lagi gitu. Hah??!)
M: “Kamu kenapa
mau lupain aku?”
E: “Kepo! Alesan utamanya ya gara-gara kamu udah
nyakitin aku. Jadi aku mau hapus semua kenangan tentang kamu dari pikiran aku.
Udah ngerti?”
M: “Lah terus
udah bisa lupainnya?”
E: “Belum. Ini lagi nyoba.” (Dengan perasaan dongkol
bercampur malu Embun menjawab perasaan konyol tersebut)
M: “Hahaha...
mending gini aja, kalau kamu enggak bisa lupain aku. Yaudah, gausah kamu lupain akunya.”
E: “Berharap banget enggak dilupain deh. HA HA HA!”
M: “Iya, karena
aku enggak suka dilupain.”
E: (Hei jawaban apaan itu? Simple tapi nyambung sih
ya-_-)
Jadi
secara singkatnya percakapan via telepon itu berlangsung sangat absurd. Namun,
hal itu yang Embun rindukan. Percakapan singkat, dalam langit gelap pekat, dan
nada suaranya yang hangat. Sungguh Embun merindukan lelaki itu. Walau dia tahu,
Matahari tidak akan pernah memutar arah untuk kembali pada Embun. Namun bagimu
Matahari, dengarkanlah bahwa Embun sangat menyayangimu. Embun berbisik dalam hati lirih,
"Dia ada disana, angin membawa hatinya semakin jauh. Dia tinggalkan aku sebentuk hati yang luka, yang terus terluka sama merahnya darah." - Huangjiajia