Welcome to iCa's Scratch. Happy reading! PLEASE REMEMBER: Act creatively, DON'T COPY and PASTE without the original author. Make creations with your own mind, it will be more appreciated than you steal people's work. Thanks♥

Jumat, 20 Desember 2013

Percakapan Absurd Embun dan Matahari


Sudah sekian lama aku tak menulis ditempat ini. Boleh kubilang karena kesibukkan yang lebih sering menemaniku. Aku sudah duduk di bangku kelas 12 SMA, dan itu hanya tinggal beberapa bulan lagi aku harus menempuh try out, ujian praktik, ujian nasional, dan tentu aku masih berharap banyak bisa menempuh ke jenjang pendidikan di perguruan tinggi favorit tentunya. Hmm... mumpung ini aku lagi lowong gara-gara di sekolah sedang mengadakan class meeting, jadi aku iseng mau ngepost sebuah cerita tentang Embun dan Matahari.
  
Dahulu embun dan matahari pernah menjalin sebuah hubungan. Embun sangat menyayangi matahari. Termenung dalam hening, embun sampai saat ini belum dapat melepas bayangan matahari. Andai kamu tahu, sebenarnya kala itu hubungan antara Embun dan Matahari hanya mainan belaka. Matahari tak pernah benar menyayangi Embun. Namun, seberapa ahli actingnya sehingga tak ada satupun makhluk ciptaan Tuhan lain yang tahu tentang itu. Sampai akhirnya, mereka berpisah. Setelah perpisahan itu, sebegitu kejamnya teman Matahari berani mencaci Embun, “Kasihan ya yang cuman dijadiin pelarian.” Hati sakit, namun Embun tahu benar bahwa dia menyayangi Matahari dengan tulus. 

Cobaan begitu berat, ketika selang beberapa bulan lamanya akhirnya Matahari kembali dekat dengan Embun. Dia kerap kali sms, menelepon, dan memberi kabar tentang kisah hidupnya yang sekarang. “Tuhan, bagaimana bisa aku menghindari dari kedekatan ini?” Embun selalu tak dapat menahan segala emosinya untuk tidak membalas perhatian dari Matahari. Embun berandai-andai, “Apakah mungkin ini jalan untuk kembali padanya? Tetapi bagaimana dengan perasaanku yang pernah tersakiti olehnya? Apa aku harus sekejap memaafkan? Ternyata memang benar... sakit rasanya... tetapi aku juga masih jatuh cinta terhadapnya. Tentang pesonanya, parfumnya, tingkahnya, kebodohannya, senyumnya dan tawanya. Sungguh, aku mencintainya.”

Baru saja Embun menemukan secarik kertas. Kertas itu berisikan coret-coretan sebuah larik diarynya. Disana tertulis nama Matahari dengan jelas bertinta hitam. Embun membaca perlahan, teringat benar akan kenangan yang pernah ia lalui dengan Matahari. Selama ini, ia berusaha untuk melupakan Matahari, namun dalam sekejap air matanya menetes. Seakan hatinya patah kembali, dia menyadari telah sekian tahun ini dia mencoba mencari yang lain namun layaknya iklan mie, kalau rasa tidak pernah bohong. Diatas kertas bergaris hijau itu tertulis:
Percakapan ku dengan Matahari ketika ia meneleponku kala tengah malam. Mataku masih sayu, langsunglah tanpa sadar aku menerima panggilan tersebut..."

Embun: “Halo??!” 

Matahari: “Halo, kamu udah tidur ya?”

Embun: “Ini siapa?”

Matahari: “Aku Matahari. Kamu enggak kenal sama suaraku?”

Embun: (Dirinya sangat kaget, dan langsung tersadar dari rasa kantuknya)“Oh hmm... ka... ka... mu... ke... kenapa telepon aku?”

Matahari: “Oh jadi ceritanya enggak boleh? Aku tutup lho.”

Embun: “Bu... bu... bukan maksudku gitu, tapi aku enggak nyangka aja.” (Dasar bodoh, kenapa aku jadi berkesan agak senang gini jawabnya, hihi tapi nyatanya emang senang sih hiks)

Entah mengalir kemana percakapan kala tengah malam itu. Sampai akhirnya Matahari mengintrogasi pertanyaan yang sebenarnya sangatlah privasi. Lagi dan lagi tentu Embun tidak dapat mengelak. “Bodoh! Percakapan macam apa ini? Masa dia nanya-nanya:

M: “Kamu udah bisa lupain dia (mantan gebetan Embun) belum?”

E: (Kasih tau engga yaaaa.....)

M: Kalau semisal aku (Matahari) sama dia (mantan gebetan Embun) bakalan nembak kamu secara bersamaan, jadi kamu bakal lebih milih siapa?

E: (Milih siapa aja boleh yang penting enggak nyakitin.)

M: “Kamu udah bisa lupain aku belum sih sebenernya?”

E: (Apadeh lo mau tau banget tentang perasaan gue. Trus abis itu lo mau nyakitin lagi gitu. Hah??!)

M: “Kamu kenapa mau lupain aku?”

E: “Kepo! Alesan utamanya ya gara-gara kamu udah nyakitin aku. Jadi aku mau hapus semua kenangan tentang kamu dari pikiran aku. Udah ngerti?”

M: “Lah terus udah bisa lupainnya?”

E: “Belum. Ini lagi nyoba.” (Dengan perasaan dongkol bercampur malu Embun menjawab perasaan konyol tersebut)

M: “Hahaha... mending gini aja, kalau kamu enggak bisa lupain aku. Yaudah, gausah kamu lupain akunya.

E: “Berharap banget enggak dilupain deh. HA HA HA!”

M: “Iya, karena aku enggak suka dilupain.”

E: (Hei jawaban apaan itu? Simple tapi nyambung sih ya-_-)

Jadi secara singkatnya percakapan via telepon itu berlangsung sangat absurd. Namun, hal itu yang Embun rindukan. Percakapan singkat, dalam langit gelap pekat, dan nada suaranya yang hangat. Sungguh Embun merindukan lelaki itu. Walau dia tahu, Matahari tidak akan pernah memutar arah untuk kembali pada Embun. Namun bagimu Matahari, dengarkanlah bahwa Embun sangat menyayangimu. Embun berbisik dalam hati lirih,
"Dia ada disana, angin membawa hatinya semakin jauh. Dia tinggalkan aku sebentuk hati yang luka, yang terus terluka sama merahnya darah." - Huangjiajia

Rabu, 13 Maret 2013

Layaknya Kupu yang Inginkan Bebas

Kupu itu terbang tinggi. Hilir mudik berkeliling kesana-kemari. Kepakkan sayap menyamai peri. Tahukah Tuhan? Aku ingin bebas seperti mereka. Begitu cantik, begitu indah, begitu menawan, begitu bebas tidak ada yang mengekang. Kadang apa yang aku lakukan hanya terbatas aturan. Hati tidak sedikitpun bicara untuk sepenuhnya melakukan.
Oh ini seperti kamu, yang bermain cinta. Ngakunya sayang, namun hatimu membangkang. Itu hanya terucap pada bibir manismu belaka. Hmm... pernahkah kamu dengar lirik lagu ini?
"Lidah tidak bertulang
Ucapan cinta mengiris kalbu
Cinta dihati terkubur lagi..."

Adakah kamu mengerti?
Aku menyukai liriknya. Mungkin jika aku hayati, air mataku masih bisa terjatuh tak berarti.
Baik, kembali ke topik awal, aku tidak menawan seperti sang kupu. Namun, aku pernah merasakan bahwa aku memiliki sayap.
Adakah tuan menyadari?
Semenjak tuan datang, aku merasakan bahwa sayap itu tumbuh. Aku belajar untuk terbang. Kuingat benar, dirimulah yang membimbingku untuk membuka sayap, mencoba untuk mengepakkannya, melihat nyata bahwa diriku indah. Selain itu semenjak itu pula hidupku seakan berarti. Tetapi, semenjak kutahu kamu dengan kepuraanmu. Sayapku rapuh, akhirnya patah. Bisakah aku kembali menemukan seseorang yang dapat menumbuhkan sayap itu? Tunggu. Aku sudah mencoba. Tidak hanya sulit. Tetapi juga rumit.
Seperti kutipan inilah aku kini berada...
"Seekor kupu yang patah hati hinggap di ranting kering, perasaannya berdebar: ternyata ada sepi yang lebih menakutkan dari kebebasan." - @amresza

Selasa, 12 Maret 2013

[Puisi] Jiwa Punah Tak Berarti

Semua berjalan begitu cepat,
Kulihat mendung, nian memandarkan kilat
Saya tidak ingin kembali mengingat
Masa dimana kamu pernah menggores luka menoreh penat

Kamu pergi menggandeng pilihanmu
Dan saya memang sudah seharusnya turut pergi meninggalkanmu
Namun kadang kamu mengekang
Membuat langkah saya menjadi aral melintang

Dalam benakmu adakah terpikir?
Saya dan kamu adalah dua insan yang berbeda
Namun...
Saling menyakiti,
Saling membenci,
Saling mempermainkan,
Dan saling memberi kebohongan satu dengan yang lain 

Mengertilah...
Saya dan kesedihan kini sudah semakin bersahabat
Berharap hujan lekas menghapus kenangan yang tergenggam erat
Dan janganlah kamu mendekat
Menjerat saya memekik suara kegaduhan
Untuk terjatuh kembali dalam petirmu yang sunyi
Karena kini, puisi jiwaku punah tak berarti