Ini mungkin akan berkisah tentang waktu, dan tentang kamu yang pergi tanpa bisa ku elakkan. Senja sore, kamu hadir sebagai matahari. Ku tunggu dirimu dalam background berbahan pantai. Langit bersemburat oranye, dan kilau warna yang syahdu, selalu ku nikmati.
Aku yang walau hanya setetes embun. Membuat kesalahan dengan berani memilih mu sebagai hal yang aku cintai. Cinta tanpa alasan, sering rasanya mengintimidasi hati. Embun tercipta kala dingin, sementara matahari?
Benar... matahari jikalau dirinya ada, maka akan sirnalah aku. Kutegaskan kembali, matahari itu kamu, dan embun itu aku. Kita dalam hidup nyata, yang tidak pernah bisa bersama.
Wahai matahari, aku tahu kekuatanmu besar. Kehangatan mu saja akan menghilangkan aku. Sehingga bisa ku realisasikan jika kamu membentak ku, maka diriku akan pergi. Bisa jadi meninggalkan mu.
Baik, aku bisa mencari celah di tempat lain. Ditempat yang dingin tentunya, disana aku akan singgah. Tetapi ketahuilah satu hal, bahwa embun tetap mencintai matahari, walaupun matahari pernah menyakitinya. Dan sampai akhirnya, akan membuat ku (baca: embun) mencair sampai aku sirna. Itu bukan berarti permasalahan besar bagiku. Karena ada harapan yang ingin kusampaikan, bahwa ditempat dingin ini aku bersinggah sebagai pengagum yang mencintaimu secara tulus. Secara diam. Secara sembunyi. Karena sampai kapanpun, cukup jelaslah matahari dan embun tidak pernah berjalan beriringan. Dan akhirnya seperti kutipan berikut, kisah ini akan berakhir:
"Rinduku ialah embun yang meniti sepi daun, lalu jatuh di bara hatimu lenyap menjadi kesunyian." - Mahesa Aditya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar