Welcome to iCa's Scratch. Happy reading! PLEASE REMEMBER: Act creatively, DON'T COPY and PASTE without the original author. Make creations with your own mind, it will be more appreciated than you steal people's work. Thanks♥

Rabu, 13 Maret 2013

Layaknya Kupu yang Inginkan Bebas

Kupu itu terbang tinggi. Hilir mudik berkeliling kesana-kemari. Kepakkan sayap menyamai peri. Tahukah Tuhan? Aku ingin bebas seperti mereka. Begitu cantik, begitu indah, begitu menawan, begitu bebas tidak ada yang mengekang. Kadang apa yang aku lakukan hanya terbatas aturan. Hati tidak sedikitpun bicara untuk sepenuhnya melakukan.
Oh ini seperti kamu, yang bermain cinta. Ngakunya sayang, namun hatimu membangkang. Itu hanya terucap pada bibir manismu belaka. Hmm... pernahkah kamu dengar lirik lagu ini?
"Lidah tidak bertulang
Ucapan cinta mengiris kalbu
Cinta dihati terkubur lagi..."

Adakah kamu mengerti?
Aku menyukai liriknya. Mungkin jika aku hayati, air mataku masih bisa terjatuh tak berarti.
Baik, kembali ke topik awal, aku tidak menawan seperti sang kupu. Namun, aku pernah merasakan bahwa aku memiliki sayap.
Adakah tuan menyadari?
Semenjak tuan datang, aku merasakan bahwa sayap itu tumbuh. Aku belajar untuk terbang. Kuingat benar, dirimulah yang membimbingku untuk membuka sayap, mencoba untuk mengepakkannya, melihat nyata bahwa diriku indah. Selain itu semenjak itu pula hidupku seakan berarti. Tetapi, semenjak kutahu kamu dengan kepuraanmu. Sayapku rapuh, akhirnya patah. Bisakah aku kembali menemukan seseorang yang dapat menumbuhkan sayap itu? Tunggu. Aku sudah mencoba. Tidak hanya sulit. Tetapi juga rumit.
Seperti kutipan inilah aku kini berada...
"Seekor kupu yang patah hati hinggap di ranting kering, perasaannya berdebar: ternyata ada sepi yang lebih menakutkan dari kebebasan." - @amresza

Selasa, 12 Maret 2013

[Puisi] Jiwa Punah Tak Berarti

Semua berjalan begitu cepat,
Kulihat mendung, nian memandarkan kilat
Saya tidak ingin kembali mengingat
Masa dimana kamu pernah menggores luka menoreh penat

Kamu pergi menggandeng pilihanmu
Dan saya memang sudah seharusnya turut pergi meninggalkanmu
Namun kadang kamu mengekang
Membuat langkah saya menjadi aral melintang

Dalam benakmu adakah terpikir?
Saya dan kamu adalah dua insan yang berbeda
Namun...
Saling menyakiti,
Saling membenci,
Saling mempermainkan,
Dan saling memberi kebohongan satu dengan yang lain 

Mengertilah...
Saya dan kesedihan kini sudah semakin bersahabat
Berharap hujan lekas menghapus kenangan yang tergenggam erat
Dan janganlah kamu mendekat
Menjerat saya memekik suara kegaduhan
Untuk terjatuh kembali dalam petirmu yang sunyi
Karena kini, puisi jiwaku punah tak berarti









Rabu, 12 Desember 2012

Matahari dan Embun Tidak Pernah Berjalan Beriringan


Ini mungkin akan berkisah tentang waktu, dan tentang kamu yang pergi tanpa bisa ku elakkan. Senja sore, kamu hadir sebagai matahari. Ku tunggu dirimu dalam background berbahan pantai. Langit bersemburat oranye, dan kilau warna yang syahdu, selalu ku nikmati.

Aku yang walau hanya setetes embun. Membuat kesalahan dengan berani memilih mu sebagai hal yang aku cintai. Cinta tanpa alasan, sering rasanya mengintimidasi hati. Embun tercipta kala dingin, sementara matahari?
Benar... matahari jikalau dirinya ada, maka akan sirnalah aku. Kutegaskan kembali, matahari itu kamu, dan embun itu aku. Kita dalam hidup nyata, yang tidak pernah bisa bersama.

Wahai matahari, aku tahu kekuatanmu besar. Kehangatan mu saja akan menghilangkan aku. Sehingga bisa ku realisasikan jika kamu membentak ku, maka diriku akan pergi. Bisa jadi meninggalkan mu.
Baik, aku bisa mencari celah di tempat lain. Ditempat yang dingin tentunya, disana aku akan singgah. Tetapi ketahuilah satu hal, bahwa embun tetap mencintai matahari, walaupun matahari pernah menyakitinya. Dan sampai akhirnya, akan membuat ku (baca: embun) mencair sampai aku sirna. Itu bukan berarti permasalahan besar bagiku. Karena   ada harapan yang ingin kusampaikan, bahwa ditempat dingin ini aku bersinggah sebagai pengagum yang mencintaimu secara tulus. Secara diam. Secara sembunyi. Karena sampai kapanpun, cukup jelaslah matahari dan embun tidak pernah berjalan beriringan. Dan akhirnya seperti kutipan berikut, kisah ini akan berakhir:

"Rinduku ialah embun yang meniti sepi daun, lalu jatuh di bara hatimu lenyap menjadi kesunyian." - Mahesa Aditya